Kelas Menengah ‘Ngehe’: Mencari Status di Tengah Himpitan Ekonomi

Selama beberapa tahun terakhir, keluhan tentang ‘kelas menengah ngehe’ telah umum terdengar di kalangan masyarakat Indonesia. Walaupun populer, tak ada definisi yang pasti akan istilah tersebut. Jelas ia tidak terdaftar di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Namun jika kamu mencarinya di internet, kamu akan memperoleh segambreng artikel dan gambar yang berisi beraneka ragam sikap dan perilaku yang dianggap ‘ngehe’ atau ‘ngeselin’ oleh masyarakat Indonesia.

Dengan kata lain, definisi ‘kelas menengah ngehe’ selalu berubah sesuai dinamika sosial, sebagai cerminan ketidaknyamanan yang terus berkembang di kalangan masyarakat dalam kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi.

Bagi orang Indonesia, istilah ‘kelas menengah’ (‘middle class’) sering digunakan untuk mendeskripsikan orang-orang yang, menurut standar masyarakat umum, kaya atau sangat kaya. Mereka punya harta yang terus bertambah. Mereka berpendidikan, punya titel, dan punya jabatan. Namun, walau mereka tergolong berada, banyak yang masih punya cicilan utang dan bergantung pada penghasilan rutin untuk mempertahankan gaya hidup mereka.

Di lingkup internasional, definisi ‘kelas menengah’ umumnya ditentukan menggunakan standar ekonomi. Bank Dunia menetapkan kelas menengah adalah kalangan masyarakat dengan penghasilan sebesar US$2–20 (sekitar Rp. 26–260 ribu) perhari.

Dengan standar tersebut, berarti kelas menengah di Indonesia meningkat dari 134 juta jiwa di tahun 2010, menjadi hampir 170 juta jiwa (atau setara dengan hampir 70% total penduduk) di tahun 2015. Sementara itu, McKinsey Global Institute menggunakan istilah ‘kelas pengguna’ (‘consuming class’), alih-alih ‘kelas menengah’, untuk merujuk mereka yang berpenghasilan lebih dari US$3600 (sekitar Rp. 46,8 juta) setahun, atau sekitar US$10 (sekitar Rp. 130 ribu) perhari. Itu setara dengan 45 juta penduduk Indonesia (berdasarkan data tahun 2010).

Penggunaan standar bawah sebesar US$2 (sekitar Rp. 26 ribu) perhari oleh Bank Dunia telah dikritik karena angka tersebut dinilai tidak cukup mencerminkan kemapanan masyarakat secara ekonomis. Di Indonesia, 71% masyarakat kelas menengah memiliki pengeluaran harian yang rendah, yakni sebesar US$2–4 atau sekitar Rp. 26–52 ribu, sementara hanya 3% kelas menengah memiliki pengeluaran harian yang tinggi, yakni sebesar US$10–20 atau sekitar Rp130–260 ribu.

Dominasi sebesar 71% tersebut, atau disebut ‘kelas menengah bawah’ (‘lower-middle class’), rentan jatuh kembali ke jurang kemiskinan, sehingga mereka juga sering disebut ‘kelas menengah rapuh’ (‘fragile middle’).

Mereka tidak tergolong miskin tetapi penghasilan mereka tidak mampu menompang mereka dengan baik, di samping bahwa tingkat konsumsi mereka rendah dan kemampuan finansial mereka kurang stabil. Gaya hidup mereka jelas tidak mencerminkan gaya hidup kelas menengah.

Terlepas dari penjelasan ekonomi di atas, istilah ‘kelas menengah’ dalam artikel ini akan lebih relevan jika didefinisikan berdasarkan ciri-cirinya: masyarakat kelas menengah di Indonesia umumnya berpendidikan dan berdaya beli tinggi, dengan tingkat pergaulan kelas atas.

Mayoritas kelas menengah adalah orang kota. Berdasarkan estimasi, 26% masyarakat perkotaan di Indonesia termasuk kelas menengah, sementara hanya 9% masyarakat pedesaan yang termasuk kelas menengah.

Meningkatnya kemampuan ekonomi berarti meningkat pula daya beli. Kelas menengah mulai menggeser selera mereka dari sekadar kebutuhan dasar menjadi barang-barang yang lebih mewah. Padahal baru sekali-dua belanja barang-barang yang harganya di atas rata-rata, mereka sudah sangat kritis dengan kualitas dan selisih harga walau sedikit saja, seolah tidak mau rugi. Tetapi selera mereka selera internasional—mereka mencari prestise, barang-barang bermerk, dan hiburan kelas dunia.

Dilema antara ingin berhemat dan ambisi meraih status inilah yang membuat mereka dicap ‘ngehe’. Sebagai contoh, subsidi BBM awalnya diberikan untuk membantu masyarakat berpenghasilan rendah. Tetapi berbagai analisis menunjukkan bahwa yang paling banyak memanfaatkan subsidi BBM justru masyarakat kelas menengah, yang punya mobil tapi tetap ingin irit.

Di dunia maya, mereka dengan sombongnya mencemooh kelas menengah lain yang komplain saat subsidi BBM dihapus, tanpa sadar bahwa di dunia maya jugalah, pada lain kesempatan, mereka pamer barang-barang mahal yang mereka beli. ‘Ngehe’, memang, tetapi sesungguhnya perilaku seperti inilah yang merefleksikan konflik antara kondisi ekonomi mereka yang kerap genting dan cita-cita mereka akan kehidupan yang lebih baik.

Ciri kedua kelas menengah adalah tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Dengan penghasilan yang lebih baik dan kesempatan yang lebih besar meraih beasiswa, beberapa bahkan meraih gelar pendidikan di luar negeri. Mereka tertarik dan nyambung dengan dunia politik, ekonomi, dan budaya, dan mereka secara aktif beropini di media sosial.

Seringkali kelas menengah dianggap acuh tentang dunia politik dan inginnya hanya belanja-belanja, tetapi opini tersebut tidak tepat. Sejarah mencatat, masyarakat kelas menengah di Indonesia memainkan peranan penting dalam demokrasi negara. Edward Aspinall menulis bahwa meskipun peranan mereka tak terlalu menonjol di era pasca reformasi, masih ada basis masyarakat kelas menengah yang antusias terhadap pilar-pilar demokrasi dan reformasi.

Kelas menengah juga sebenarnya kerap berkontribusi terhadap terjadinya masalah yang selama ini mereka keluhkan. Mereka mengeluh tentang lalu lintas di Jakarta, misalnya, tetapi kemana-mana masih lebih suka pakai kendaraan pribadi. Mereka komplain tentang banjir tetapi kesadaran mereka terhadap lingkungan sangat rendah—mereka buang sampah sembarangan hingga menyumbat saluran air, dan mereka juga emoh untuk ikut kerja bakti membersihkan selokan. Sikap hipokrit dan kurangnya kepedulian sosial inilah yang juga bikin kelas menengah dicap ‘ngehe’.

Ciri terakhir kelas menengah adalah konektivitas. Dengan kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi, semakin mudah bagi kelas menengah untuk menjangkau berbagai tempat—baik di dalam maupun luar negeri.

Semakin meningkatnya jumlah penerbangan murah membuat semakin banyak orang Indonesia mampu untuk naik pesawat. Membanjirnya smartphone murah juga membuat seluruh lapisan masyarakat kelas menengah, bahkan kelas menengah bawah, mampu memiliki smartphone.

Masyarakat kelas menengah di Indonesia sangatlah aktif di media sosial seperti Facebook, Twitter, dan Instagram. Indonesia bahkan mendapat predikat sebagai ibukotanya Twitter di dunia. Lebih dari 77 juta pengguna Facebook berasal dari Indonesia.

Media sosial kini tak lagi menjadi alat untuk saling terhubung satu sama lain; ia menjelma menjadi tempat untuk mencari pengakuan akan status kelas menengah mereka. Banyak orang Indonesia mendokumentasikan perjalanan mereka, di dalam maupun luar negeri, dan aktivitas sosial serta keseharian mereka, di media sosial. Di saat mereka sudah terlalu banyak update di media sosial, di situlah mereka dicap ‘ngehe’.

Walaupun didefinisikan secara bebas dan dinamis sesuai perubahan sosial, munculnya ‘kelas menengah ngehe’ ini adalah fenomena nyata. Jika Indonesia menjadikan kelebihan demografinya sebagai aset yang harus dimanfaatkan, di tahun-tahun mendatang, kelas menengah akan tumbuh dengan pesat. Akhirnya, perilaku kelas menengah yang tadinya dicap ‘ngehe’ akan dianggap wajar karena jumlah mereka yang semakin besar. Yah, selamat deh ya!

***

Post scriptum: Artikel ini adalah terjemahan dari Don’t Care How, I Want It Now! Who are Kelas Menengah Ngehe–the Awful Middle Class? yang ditulis Salut Muhidin di laman Indonesia at Melbourne tanggal 29 Juni 2016.

Tinggalkan komentar