Bosan Jadi Baik

sepatu Bosan Jadi Baik
SAYA bosan menjadi orang baik!

Pernahkah Anda membatin atau bahkan mendeklarasikan pernyataan demikian? Saya pernah. Mungkin, saya bersembunyi di balik modus normalitas sebagai manusia biasa merasakan demikian. Terkadang, kebosanan muncul tanpa diundang. Dan bosan itu adalah kebosanan menjadi orang baik.

Gawat, memang, saya akui. Ada setidaknya dua hal yang menjadi konsekuensi sekaligus latar belakang yang membersamai hal ini. Pertama, kita merasa telah menjadi orang baik. Positifnya hal ini tentu ada. Hadir semangat dan kepercayaan dalam diri untuk menjadi orang baik. Negatifnya, perasaan sudah menjadi orang baik teradang akan menutup pintu perbaikan diri. Ada nuansa keangkuhan dalam diri yang menyeret pada perasaan keengganan untuk menerima saran perbaikan dari eksternal atau membiarkan hati menelusur untuk sendirinya memperbaiki dan memuhasabahi diri.

Kedua, term bosan menjadi orang baik bakal mengaruskan individu tersebut ke arah kontra dari status quo yang tengah dijalaninya. Itu berarti, ada rasa dalam diri menginginkan untuk keluar dari lajur kebaikan. Sebagai permisalan, orang yang terbiasa bahkan selalu berupaya jujur di lingkungan kerjanya. Suatu ketika, saking suck-nya dengan lalu lintas korupsi di tempat kerja yang lancar jaya, ia berbalik. Rasa sia-sia menjadi orang jujur, rasa kecewa lantaran hanya ia seorang diri yang jujur, atau rasa merugi yang terus menggelayuti akhirnya mengalahkan idealisme kejujuran yang telah lama dibangun. Hal ini bisa dan mungkin saja terjadi pada kita atau siapa saja.

Adalah kewajaran memang munculnya rasa bosan. Tidak hanya bosan dengan keadaan dan aktivitas yang kerap menjadi rutinitas. Bosan menjadi orang baik pun mungkin saja muncul, menyapa, hinggap, atau hanya lewat sekelebat.

Yang menjadi intinya adalah penyikapan dari rasa bosan tersebut. Sangat baik bila kita memiliki langkah atau hal preventif yang menghindarkan diri kita dari kebosanan tersebut. Salah satu yang terbersit dalam pemikiran saya yakni bergabung dalam komunitas kebaikan. Adalah sangat benar dan terbukti bahwa adanya komunitas kebaikan itu sangat berarti dan penting. Pertama, kita dilihat dari di mana kita berada. Lingkungan dan rekan bergaul kita menjadi cerminan terdekat diri kita. Kedua, adanya komunitas menjadi sarana penguat dan pengingat kita. Saling menasihati menjadi budaya yang semestinya menglir lancar dalam komunitas tersebut jika menghendaki langkah preventif terhadap rasa bosan menjadi orang baik tersebut.

Di samping langkah preventif, ada pula hal yang perlu kita jadikan sebagai sarana represif (pengobatan). Mengingati, menginsafi, dan mengevaluasi idealisme awal diri bisa menjadi awalan yang baik kala rasa bosan itu hinggap. Selain itu, kita juga dapat merenungi perjalanan hidup para maestro seperti para ulama, ilmuwan, sahabat Nabi atau bahkan Nabi sendiri dalam menjaga konsistensi menjadi orang baik.

Terus mengupayakan konsisten dalam kebaikan juga menjadi tonggak yang penting. Alih-alih su’ul khotimah yang diraih meski sebelumnya telah menjejaki jalan kebaikan namun sekalinya tergoda untuk beralih jalur dan justru dalam keadaan fujur kita berakhir. Na’udzubillah.

Orang baik juga tak mungkin seorang diri. Sebutlah, Musa a.s . yang bersamanya ada Harun a.s. Sebut pula Muhammad bin Abdullah yang bersamanya ada Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan banyak lagi. Karena menjadi orang baik itu tidak bisa seorang diri. Dibutuhkan partner yang membersamai..
Di negeri para bedebah, kisah fiksi kalah seru dibanding kisah nyata.
Di negeri para bedebah, musang berbulu domba berkeliaran di halaman rumah.
Tapi setidaknya, Kawan, di negeri para bedebah, petarung sejati tidak akan pernah berkhianat. *

Tere Liye, Negeri Para Bedebah

Tinggalkan komentar