Duh, Rasulullah…

Wahai Rasulullah, saya ini pengikutmu dari negeri yang jauh. Rumah saya puluhan ribu kilometer dari tempatmu, melintasi laut samudra, gunung, gurun, padang rumput dan hutan belantara.

Ya Rasul, orang tua dan guru-guru mengenalkanmu pada kami sejak kecil. mereka mengenalkan tanpa pernah menunjukkan raut wajahmu. Wajahmu hanya saya kenali dari angan-angan dan mimpi.

Duh, Rasulullah, Islam di negeri saya sekarang besar sekali. Dulu pada wali mengajarkan teladanmu yang berembus hingga ratusan tahun. Islam masuk dari pantai hingga ke kampung-kampung. Mencerahkan hati jutaan manusia di negeri kami. Ini kabar baik untukmu. ya Rasulullah, mereka adalah ummatmu. 

Baginda Nabi Muhammad, saya hidup terpisah 16 abad dari masamu. Hari ini dunia sangat maju hingga orang dari berbagai penjuru bumi bisa berinteraksi. Orang-orang datang ke tanah tempat lahirmu tidak lagi naik kapal atau unta. Sebuah pesawat terbang sudah dapat membawa kami ke sana.

Namun, wahai Rasulullah, saat ini hati kami terus dihantam dengan segala berita dan fitnah yang menjelek-jelekkan namamu. Mereka ingin menggoyangkan iman kami pada teladanmu. Kami tidak bisa melawannya dengan parang dan panah. Mereka menyerang lewat benda yang tiap hari kami genggam dan kami baca. Mereka gunakan tekhnologi hingga membuat kami seperti berperang dengan musuh yang maya. Mereka tidak seperti musuh pada zamanmu, ya Nabi, tapi mereka bisa menghilang dalam hitungan detik dari pandangan, meninggalkan amarah dan kebencian tak terbalaskan.

Duh, Rasulullah, saya belum sanggup menirumu menyuapi orang yang setiap hari mencacimu. Saya hanya melakukan hal kecil, tapi kadang sudah minta pujian dan penghormatan. Ya Nabi, saya malu jika ini sampai ke telingamu.

Wahai Rasulullah, sampai hari ini saya masih malu jika besok pagi mati. Apakah saya layak mendapatkan syafaat dan pembelaanmu? Shalat yang baginda Rasul ajarkan sering telat saya kerjakan. Sedekah saya masih sangat kurang itupun berbau busuk dan jauh dari keikhlasan. Saya sering melupakan Allah dalam kesibukan, kesempitan, dan kekurangan membuat hati mengeras. Jiwa meradang dan lupa semua ajaranmu. Saya malu kepada murabbi-ku, kepada bapak ibu yang mengajari, kepada para ulama dan para wali, saya malu kepada baginda Nabi, saya malu kepada Allah Ilahi Rabbi.


*di peralihan  jum’at-sabtu
Makassar, 21 februari 2015

*disadur dari buku ‘Catatan Indah untuk Tuhan’ oleh Saptuari Sugiharto – dengan sedikit gubahan
sumber foto: Beautiful & Amazing Photo Collection

Tinggalkan komentar