Beberapa Hal yang Akan Kau Rindukan

Di antara Desember dan Maret kemarin, saya sempat pulang kampung untuk menengok keluarga. Setelah beberapa bulan, dan beberapa tahun sebelumnya pergi untuk mencari sesuatu, mempelajari hal yang kusenangi.

Soal pergi, aku benar-benar menikmatinya -karena sudah terlalu sering, dan dalam waktu yang cukup lama- pulang kampung rasanya lebih seperti sebuah agenda, liburan tahunan. Sebulan adalah waktu yang sudah lebih dari cukup dalam rangka ‘menengok kampung’.

Sekarang sudah bulan Juli, itu artinya sudah hampir 3 bulan aku jauh dari rumah tempat lahir dan keluarga yang membesarkan.

Oke, cukup intro dan curhatnya. Di tulisan ini, saya akan membahas segala hal yang mungkin akan kau rindukan ketika hidup dan bekerja jauh dari rumah.

1. Kamar

Adakah yang lebih nyaman dibanding kasur di rumah sendiri? Sebuah kasur yang menyimpan begitu banyak kenangan. Dari obrolan ringan dengan saudara dan sahabat, sampai telponan nakal dengan pacar menjelang tidur.

Kenyamanan kamar di rumah akan menjadi hal yang akan kau rindukan. Sepintar apa pun kau mendekor kamar di perantauan, ia tak akan bisa sesempurna kamar di rumah yang mungkin kecil, sederhana, dan di sudutnya hanya ada hiasan boneka Garfield dari pacar (atau mantan yang tak sanggup kau enyahkan).

2. Obrolan kecil keluarga

Entah mana yang lebih kau benci: ayah yang melulu mengomentari berita politik, ibu yang tak kunjung bosan bicara tentang pemenang juara liga dangdut, atau saudara yang lebih cocok kau gilas jemarinya dengan kaki meja. Namun, begitu jauh dari rumah, percayalah kau akan merindukan itu semua.

Setelah delapan jam lebih di kantor, pulang ke kosan dengan letih menggelayuti pundak, lalu menyetel saluran tivi, sesekali kau akan terpikir,

“Ah! Andai ada Ayah, andai ada Ibu,”

Benar bahwa kalian hanya akan berakhir dengan obrolan basi tetapi kau pasti akan melakukannya dengan senang hati seandainya bisa memilih.

Bahkan pada titik tertentu, kau bisa saja mendengarkan pidato panjang Surya Paloh, debat tanpa solusi yang dipandu Karni Ilyas, dan talk show dengan pertanyaan ala mbak Najwa yang penuh jebakan. Kau bisa melakukan semua itu hanya untuk menebak-nebak gumaman ayah soal politik.

3. Masakan rumah

Ingatkah semasa remaja dan kuliah, seberapa sering kau makan di rumah? Dan pada bulan Ramadan, di mana kau lebih sering berbuka puasa?

Kau pernah dipusingkan dengan begitu banyak jadwal buka puasa bersama, entah teman kuliah, SMA, SMP, pacar, atau teman se-geng si pacar. Paling-paling, hanya di awal dan akhir bulan puasa saja kau menyempatkan waktu berbuka di rumah.

Dan setelah bekerja di tempat yang jauh dari rumah, kau pun harus merasakan bingung mau makan apa. Bahkan di hari-hari biasa, kau bisa sangat rindu masakan rumah: nasi hangat, sayur asem, telur dadar, sambal, dan kerupuk.

Namun, tenang saja. Itu belum seberapa. Kerinduan itu semakin tanak ketika Ramadan tiba. Percayalah, tidak ada yang lebih enak dibanding makanan buatan ibu yang dibuat dengan cinta—dan tak pernah kauunggah di Instagram.

4. Kekasih

Sebenarnya, kau tak perlu diberi tahu lagi soal ini tetapi tetap kubahas agar hatimu semakin compang-camping. Sudah pasti kau merindukannya, dengan rindu yang tak bisa kau hapus dengan puluhan ikon *kiss* di Whatsapp, atau telepon berjam-jam di malam hari.

Mari kita bicara tentang setia saja sebab rindu dibuktikan dengan setia, bukan?

Beberapa dari kita bernasib sedemikian apes karena memendam rindu setahun, dua tahun, hingga sembilan tahun. Namun, pada akhirnya, prasasti-prasasti rindu itu retak juga ketika pasangan di jauh sana lebih nyaman dengan orang lain. Sekadar mengingatkan saja, konon yang setia bisa kalah dengan yang selalu ada.

Bukan hanya untuk pasanganmu, penempatan jauh tentu juga godaan untukmu sendiri. Berhati-hatilah!

Pesan Whatsapp “jangan lupa makan” sangat mungkin kalah dengan senyum orang yang datang langsung di depan pintu kos membawa serantang makanan. Curahan hati berjam-jam di telepon, sangat mungkin kalah dengan pundak yang nyata-nyata ada di depan mata dan bisa kau sandari.

Bukan sudah begitu hukumnya, wahai para pengabdi jarak?

Namun, cobalah bertahan karena yang di sana mencintaimu secara utuh, bukan tubuh. Karena dengan puluhan ribu kilometer, ia rela menanam rindu. Sementara ia yang di depanmu mungkin hanya tertarik pada hadir fisikmu.

Hidup para pejuang LDR!

*Oh iya, sekarang aku sudah tidak jomblo lagi. Tepat 01 April 2019 lalu, aku menikahi gadis yang kucinta dan juga mencintaiku. Jadi aku bukan bagian dari pejuang LDR :*

Kau bisa menambah sendiri daftar masalahmu. Aku hanya ingin bilang seperti yang dikatakan Dilan, “Rindu itu berat.” Namun, janganlah menyerah.

Langkah-langkah barumu di kota yang asing adalah sebuah pengabdian, sebuah pembuktian akan kesetiaan pada tempat kau bekerja. Jangan cengeng dan lembek dengan mengeluh di media sosial lalu membuat gaduh soal ini dan itu. Di mana pun tempatnya, orang bekerja memang akan selalu memanen kecewa dan ketidakadilan. Jika kau sudah mencintainya, itu semua akan menjadi jalan pengabdian.

Jika ada waktu, sempatkan untuk pulang. Percayalah, ada pintu rumah yang selalu terbuka menunggumu, ada hati yang menanti dengan penuh seluruh. Jika tak sempat, kau bisa coba prinsip ini, “Bekerjalah seakan-akan kau mutasi esok, berdoalah seakan-akan kau di kota ini selamanya.”

Bukankah begitu? Selamat mengabdi. Salam dari pengabdi weekend di sebuah titik di Bluru Kidul.

Tinggalkan komentar